Rabu, 13 Juli 2016

ETNOMATEMATIKA MASYARAKAT KAMPUNG KUTA

Resna Sopyantiasari – 152151083
sopyantiasariresna@gmail.com


          Matematika dianggap sebagai induk dari segala macam ilmu pengetahuan yang ada di dunia ini. Banyak konsep dari matematika yang diperlukan oleh bidang lainnya, seperti teknik, kimia, fisika, biologi, dan ekonomi. Matematika juga digunakan dalam berbagai segi kehidupan manusia. Dalam membangun rumah misalnya, manusia perlu melakukan penghitungan dan pengukuran untuk menggambar desain rumah dan memperkirakan jumlah bahan bangunan yang diperlukan untuk membuat bangunan rumah tersebut.
Dalam perdagangan pun manusia memerlukan matematika untuk menghitung jumlah barang yang terjual, besarnya modal, besarnya keuntungan atau kerugian. Selain itu, perkembangan teknologi modern yang terjadi saat ini juga tidak luput dari peran matematika. Oleh karena itu, matematika merupakan salah satu ilmu dasar yang harus dikuasai manusia.
          Menurut Morris Kline, mata pelajaran matematika dan buku matematika sekolah menyajikan sebuah rangkaian prosedur teknis yang nampak tidak bermakna. Materi tersebut seperti representasi dari subjek yang menjabarkan nama, posisi, dan fungsi dari setiap tulang dalam kerangka manusia yang merepresentasikan kehidupan, pemikiran, dan emosi yang disebut manusia. Seperti sebuah frase yang kehilangan makna atau memperoleh makna yang tidak diinginkan ketika dihapus dari konteksnya, jadi matematika dilepaskan dari kekayaan intelektual dalam lingkungan budaya dan peradaban dan direduksi menjadi rangkaian teknik yang telah sangat diselewengkan.
Berdasarkan pendapat di atas, wajarlah jika kebanyakan masyarakat menganggap bahwa matematika dan budaya tidak saling terkait satu sama lain. Namun, penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara matematika dan budaya. Turmudi (2012: 5) menyatakan bahwa matematika berurusan dengan gagasan (ide), matematika bukan tanda-tanda sebagai akibat dari coretan pensil, bukan kumpulan benda-benda fisik berupa segitiga, namun berupa gagasan yang direpresentasikan oleh benda-benda fisik. Sehingga, menurut Turmudi terdapat tiga sifat utama dari matematika. Pertama, matematika sebagai objek yang ditemukan dan diciptakan manusia. Kedua, matematika itu diciptakan bukan jatuh dengan sendirinya, namun muncul dari aktivitas yang objeknya telah tersedia, serta dari keperluan sains dan kehidupan keseharian. Ketiga, objek matematika memiliki sifat-sifat yang ditentukan secara baik.
Oleh karena itu, matematika selalu menjadi bagian dari kebudayaan manusia meski dalam bentuk yang sederhana. Hal ini menunjukkan bahwa matematika dan budaya saling terkait satu sama lain.
          Menurut penulis, Indonesia dengan keragaman budayanya sudah seharusnya memasukkan nilai-nilai budaya setempat ke dalam pembelajaran matematika, agar matematika tidak dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang jauh dari realitas kehidupan. Hal ini dikarenakan dalam aktivitas budaya terdapat ide-ide matematis yang dianggap sebagai hal yang penting dalam pembelajaran matematika. Ranah kajian yang dapat digunakan untuk menunjukkan keterkaitan antara budaya dan matematika yaitu etnomatematika. Etnomatematika dianggap sebagai kajian pengetahuan yang pada hakikatnya terkait dengan kelompok budaya dan kepemilikannya, yang menjadikannya terkait erat dengan realitas dan dapat diungkapkan dengan bahasa, yang biasanya berbeda dari yang digunakan oleh matematika.
          Penerapan mengenai etnomatematika sangat cocok dilakukan di Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan negara multikultur dan multietnik yang memiliki banyak suku bangsa. Meskipun kemajuan zaman tengah terjadi, banyak etnik di Indonesia yang masih bertahan dengan memegang teguh ajaran nenek moyangnya. Sama halnya dengan masyarakat Suku Sunda di Provinsi Jawa Barat, mereka mempunyai tradisi-tradisi hidup masyarakat yang turun-menurun seperti aktivitas budaya dan permainan tradisional.
Mengenai kegiatan sehari-hari masyarakat Kampung Kuta yang mengandung unsur matematika dan selalu berkaitan dengan alam sekitar. Ini disebabkan keakraban manusia hidup bersama alam dalam kesehariannya. Hukum alam dipahami sebagai “Hukum Tuhan” yang sudah dipatuhi. Sehingga, ketika manusia akan bersentuhan dengan alam, mereka akan sadar diri akan Tuhannya.
          Kajian etnografi dalam penulisan ini difokuskan pada nilai-nilai matematika yang terkandung dalam aktivitas adat.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran representasi aktivitas budaya masyarakat Kampung Kuta yang bernuansa matematika?

HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejarah Kampung Kuta
          Nama Kampung Kuta berasal dari kata “kuta-kuta” (bahasa sunda) yang berarti tebing. Nama ini langsung menunjuk kepada wilayah Kampung Kuta yang letaknya dikelilingi tebing curam setinggi 75 m. Kampung yang terletak di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, yang berbatasan dengan Jawa Tengah. Kampung ini memiliki luas area total 157 ha. Terdiri dari 40 ha hutan keramat (karamat) dan 117 lahan pemukiman dan pesawahan. Dengan jumlah penduduk 285 yang sebagian besar mata pencahariannya adalah bertani.
          Berdasarkan aktivitas budaya yang berkembang di masyarakat Kampung Kuta, sebenarnya kita bisa melihat terdapat banyak konteks pelajaran yang telah mereka terapkan secara nyata. Mereka telah mempelajari bahasa dengan baik, bahkan bahasa adat sunda buhun yang kini hampir mengalami perubahan secara luas di masyarakat Jawa Barat pada umumnya. Jika diamati lebih lanjut ternyata banyak sekali aktivitas budaya yang mengandung unsur-unsur matematika. Aktivitas tersebut bisa terlihat dari kegiatan masyarakat seperti membilang, mengukur, membuat rancang bangun bahkan permainan tradisional yang masih digemari anak-anak sampai saat ini. Berikut digambarkan secara rinci aktivitas masyarakat Kampung Kuta yang bernuansa matematika.

Aktivitas Membilang
          Membilang berkaitan dengan pertanyaan “berapa banyak”. Kebanyakan masyarakat Kampung Kuta terutama anak-anak menggunakan jari tangan sebagai alat membilang. Teknik membilang tidak jauh berbeda dengan masyarakat pada umumnya, hanya saja bahasa budaya yang mereka gunakan adalah dalam bahasa sunda: hiji, dua, tilu, opat, lima, genep, tujuh, dalapan, salapan dan sapuluh. Bilangan-bilangan tersebut menunjukkan angka satu sampai sepuluh. Kebanyakan dari masyarakat Kampung Kuta menggunakan bilangan untuk menghitung jumlah hewan ternak, jumlah peralatan berburu, jumlah keluarga bahkan jumlah keluarga dan rumah yang ada diperkampungan tersebut. Dalam hal membilang, tidak ada perbedaan yang prinsip dengan masyarakat pada umumnya selain dari aspek kebahasaan yang digunakan.

Aktivitas Mengukur
          Mengukur pada umumnya berkaitan dengan pertanyaan “berapa (banyak, panjang/lebar/tinggi dan lama)”. Untuk menyatakan banyak, masyarakat Kampung Kuta menggunakan beberapa istilah seperti: saikat / satu ikat, sakeupeul / satu kepal, sacanggeum / satu genggaman tangan yang terbuka, salosin / satu lusin, sakodi / satu kodi, satasbeh. Untuk menyatakan panjang, masyarakat Kampung Kuta menggunakan istilah seperti: sajeungkal / satu jengkal, sadeupa / sepanjang bentangan tangan kiri dan kanan, saawi / sepanjang pohon bambu (biasanya digunakan untuk menyatakan ketinggian/kedalaman). Untuk menyatakan ukuran lama, masyarakat Kampung Kuta biasanya menggunakan beberapa istilah sebagai berikut: sabedug / satu hari (dari jam 7 sampai jam 12), saweton / sanaptu / satu runtuian waktu yang ditentukan berdasarkan hari kelahiran, katujuhna / hari ketujuh, sawindu / delapan tahun, sapurnama / dari bulan purnama ke bulan purnama lagi. Istilah waktu untuk orang sunda dalam sehari semalam berdasarkan keadaan alam :
Wanci tumorѐk (jam 00.30)
Wanci janari sapi (jam 01.00)
Wanci janari leutik (jam 01.30)
Wanci janari gedѐ (jam 02.00)
Wanci disada rorongkѐng (jam 02.30)
Wanci haliliwar (jam 03.00-03.30)
Wanci janari (jam 04.00)
Wanci balѐbat (jam 05.00)
Wanci carancang tihang (jam 05.30)
Wanci murag ciibun/meletѐk (jam 07.00)
Wanci haneut moyan (jam 08.00)
Wanci rumangsang (jam 09.00)
Wanci pecat sawed (jam 10.00)
Wanci manceran/tengah poѐ (jam 12.00)
Wanci lingsir ngulon (jam 14.00)
Wanci panonpoѐ satungtung (jam 15.00)
Wanci tunggang gunung (jam 16.00-17.00)
Wanci sariak layung (jam 17.00-18.00)
Wanci ѐrang-ѐrang (jam 17.30-18.00)
Wanci sareupna/harieum beungeut (jam 18.00-18.30)
Wanci sareureuh gaang (jam 19.00)
Wanci sareureuh budak (jam 21.00)
Wanci sareureuh kolot (jam 22.00)

Aktivitas Membuat Rancang Bangun
          Membuat rancang bangun identik dengan penggunaan konsep geometri secara nyata dalam kehidupan. Disatu sisi, masyarakat Kampung Kuta tidak mempelajari matematika (geometri) secara formal melalui bangku sekolah tetapi mereka mampu mengembangkannya dengan sangat baik sehingga menjadikannya istimewa. Rumah yang berada di kampung Kuta masih berbentuk panggung dengan atap rumbia atau ijuk dan berdinding anyaman bambu dengan bentuk segitiga dan persegi panjang. Seluruh bahan bangunan rumah harus terbuat dari bambu dan kayu. “Pantrangannya (pantangannya) dalam membuat rumah harus panggung, dindingnya tidak boleh tembok, bentuknya harus persegi panjang, tidak letter U atau bentuk lain, tempat menyimpan beras harus dekat ke tempat tidur. Jika rumah diperbaiki, tidak boleh nambah ruangan ke Timur atau Utara, kalau ke Selatan atau Barat bisa.” Papar Ki Warja yang merupakan pemangku adat di Kampung Kuta. Membangun rumah juga tidak boleh mengompleks atau berkumpul. Harus berderet dengan jumlah tidak boleh ganjil (harus genap) dengan maksimal 4 rumah.

Aktivitas Permainan Matematika
          Ada banyak jenis permainan tradisional masyarakat Kampung Kuta yang mengandung unsur-unsur matematika. Seperti permainan layang-layang yang menyerupai bentuk belah ketupat, hanya saja sisi pada bagian bawah lebih panjang. Permainan ketapel pun berkaitan dengan unsur matematika (geometri) yaitu sudut.

KESIMPULAN
         Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak lepas dari kegiatan membilang, mengukur, rancang bangun dan permainan. Dan kegiatan tersebut tidak lepas dari unsur matematika. Karena membilang berkaitan dengan “berapa banyak”, mengukur berkaitan dengan “berapa panjang/lama”, menyatakan waktu, rancang bangun berkaitan dengan bentuk geometri, dan permainan yang memiliki unur matematika dapat dijadikan media pembelajaran.
 
SARAN
         Saya berharap esai ini dapat berguna bagi pembaca dan saya mengakui masih banyak kekurangan dalam esai ini. Oleh karena itu, bagi pembaca atau mahasiswa yang mengangkat topik tentang etnomatematika di Kampung Kuta dapat mengembangkannya menjadi lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Yulianto, E., dan Ipah Muzdalipah. (2015). “Pengembangan Desain Pembelajaran Matematika Untuk Siswa SD Berbasis Aktivitas Budaya dan Permainan Tradisional Masyarakat Kampung Naga”. Universita Siliwangi: tidak diterbitkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar