ETNOMATEMATIKA MASYARAKAT KAMPUNG KUTA
Resna
Sopyantiasari – 152151083
sopyantiasariresna@gmail.com
M
|
atematika dianggap sebagai induk dari segala macam
ilmu pengetahuan yang ada di dunia ini. Banyak konsep dari matematika yang
diperlukan oleh bidang lainnya, seperti teknik, kimia, fisika, biologi, dan
ekonomi. Matematika juga digunakan dalam berbagai segi kehidupan manusia. Dalam
membangun rumah misalnya, manusia perlu melakukan penghitungan dan pengukuran
untuk menggambar desain rumah dan memperkirakan jumlah bahan bangunan yang
diperlukan untuk membuat bangunan rumah tersebut.
Dalam perdagangan pun manusia memerlukan matematika untuk menghitung
jumlah barang yang terjual, besarnya modal, besarnya keuntungan atau kerugian.
Selain itu, perkembangan teknologi modern yang
terjadi saat ini juga tidak luput dari peran matematika. Oleh karena itu,
matematika merupakan salah satu ilmu dasar yang harus dikuasai manusia.
Menurut Morris Kline,
mata pelajaran matematika dan buku matematika sekolah menyajikan sebuah
rangkaian prosedur teknis yang nampak tidak bermakna. Materi tersebut seperti
representasi dari subjek yang menjabarkan nama, posisi, dan fungsi dari setiap
tulang dalam kerangka manusia yang merepresentasikan kehidupan, pemikiran, dan
emosi yang disebut manusia. Seperti sebuah frase yang kehilangan makna atau
memperoleh makna yang tidak diinginkan ketika dihapus dari konteksnya, jadi
matematika dilepaskan dari kekayaan intelektual dalam lingkungan budaya dan
peradaban dan direduksi menjadi rangkaian teknik yang telah sangat
diselewengkan.
Berdasarkan pendapat di
atas, wajarlah jika kebanyakan masyarakat menganggap bahwa matematika dan
budaya tidak saling terkait satu sama lain. Namun, penelitian-penelitian yang
telah dilakukan menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara matematika dan
budaya. Turmudi (2012: 5) menyatakan bahwa matematika berurusan dengan gagasan
(ide), matematika bukan tanda-tanda sebagai akibat dari coretan pensil, bukan kumpulan
benda-benda fisik berupa segitiga, namun berupa gagasan yang direpresentasikan
oleh benda-benda fisik. Sehingga, menurut Turmudi terdapat tiga sifat utama
dari matematika. Pertama, matematika sebagai objek yang ditemukan dan
diciptakan manusia. Kedua, matematika itu diciptakan bukan jatuh dengan
sendirinya, namun muncul dari aktivitas yang objeknya telah tersedia, serta
dari keperluan sains dan kehidupan keseharian. Ketiga, objek matematika
memiliki sifat-sifat yang ditentukan secara baik.
Oleh karena itu, matematika
selalu menjadi bagian dari kebudayaan manusia meski dalam bentuk yang
sederhana. Hal ini menunjukkan bahwa matematika dan budaya saling terkait satu
sama lain.
Menurut penulis, Indonesia
dengan keragaman budayanya sudah seharusnya memasukkan nilai-nilai budaya
setempat ke dalam pembelajaran matematika, agar matematika tidak dianggap
sebagai ilmu pengetahuan yang jauh dari realitas kehidupan. Hal ini dikarenakan
dalam aktivitas budaya terdapat ide-ide matematis yang dianggap sebagai hal
yang penting dalam pembelajaran matematika. Ranah kajian yang dapat digunakan
untuk menunjukkan keterkaitan antara budaya dan matematika yaitu
etnomatematika. Etnomatematika dianggap sebagai kajian pengetahuan yang pada
hakikatnya terkait dengan kelompok budaya dan kepemilikannya, yang menjadikannya
terkait erat dengan realitas dan dapat diungkapkan dengan bahasa, yang biasanya
berbeda dari yang digunakan oleh matematika.
Penerapan mengenai etnomatematika
sangat cocok dilakukan di Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan
negara multikultur dan multietnik yang memiliki banyak suku bangsa. Meskipun
kemajuan zaman tengah terjadi, banyak etnik di Indonesia yang masih bertahan
dengan memegang teguh ajaran nenek moyangnya. Sama
halnya dengan masyarakat Suku Sunda di Provinsi Jawa Barat, mereka mempunyai
tradisi-tradisi hidup masyarakat yang turun-menurun seperti aktivitas budaya
dan permainan tradisional.
Mengenai
kegiatan sehari-hari masyarakat Kampung Kuta yang mengandung unsur matematika dan selalu
berkaitan dengan alam sekitar. Ini disebabkan keakraban manusia hidup bersama
alam dalam kesehariannya. Hukum alam dipahami sebagai “Hukum Tuhan” yang sudah
dipatuhi. Sehingga, ketika manusia akan bersentuhan dengan alam, mereka akan
sadar diri akan Tuhannya.
Kajian etnografi dalam penulisan
ini difokuskan pada nilai-nilai matematika yang terkandung dalam aktivitas adat.
Rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah bagaimana gambaran representasi aktivitas budaya masyarakat Kampung Kuta
yang bernuansa matematika?
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejarah Kampung Kuta
Nama Kampung Kuta berasal
dari kata “kuta-kuta” (bahasa sunda) yang berarti tebing. Nama
ini langsung menunjuk kepada wilayah Kampung Kuta yang letaknya dikelilingi
tebing curam setinggi 75 m. Kampung yang terletak di Desa Karangpaningal,
Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, yang berbatasan dengan Jawa Tengah. Kampung
ini memiliki luas area total 157 ha. Terdiri dari 40 ha hutan keramat (karamat)
dan 117 lahan pemukiman dan pesawahan. Dengan jumlah penduduk 285 yang sebagian
besar mata pencahariannya adalah bertani.
Berdasarkan aktivitas budaya yang berkembang di
masyarakat Kampung Kuta, sebenarnya kita
bisa melihat terdapat banyak konteks pelajaran yang telah mereka terapkan
secara nyata. Mereka telah mempelajari bahasa dengan baik, bahkan bahasa adat sunda buhun yang kini hampir mengalami
perubahan secara luas di masyarakat Jawa Barat pada umumnya. Jika diamati lebih
lanjut ternyata banyak sekali aktivitas budaya yang mengandung unsur-unsur
matematika. Aktivitas tersebut bisa terlihat dari kegiatan masyarakat seperti
membilang, mengukur, membuat rancang bangun bahkan permainan tradisional yang
masih digemari anak-anak sampai saat ini. Berikut digambarkan secara rinci
aktivitas masyarakat Kampung Kuta yang bernuansa
matematika.
1.
Aktivitas Membilang
Membilang berkaitan dengan pertanyaan “berapa banyak”. Kebanyakan
masyarakat Kampung Kuta terutama anak-anak menggunakan jari tangan sebagai alat
membilang. Teknik membilang tidak jauh berbeda dengan masyarakat pada umumnya,
hanya saja bahasa budaya yang mereka gunakan adalah dalam bahasa sunda: hiji, dua, tilu, opat, lima, genep, tujuh,
dalapan, salapan dan sapuluh. Bilangan-bilangan
tersebut menunjukkan angka satu sampai sepuluh. Kebanyakan dari masyarakat
Kampung Kuta menggunakan bilangan untuk menghitung jumlah hewan ternak, jumlah
peralatan berburu, jumlah keluarga bahkan jumlah keluarga dan rumah yang ada
diperkampungan tersebut. Dalam hal membilang, tidak ada perbedaan yang prinsip
dengan masyarakat pada umumnya selain dari aspek kebahasaan yang digunakan.
2.
Aktivitas Mengukur
Mengukur pada umumnya berkaitan dengan pertanyaan “berapa (banyak,
panjang/lebar/tinggi dan lama)”. Untuk menyatakan banyak, masyarakat Kampung Kuta
menggunakan beberapa istilah seperti: saikat
/ satu ikat, sakeupeul / satu
kepal, sacanggeum / satu genggaman
tangan yang terbuka, salosin / satu
lusin, sakodi / satu kodi, satasbeh. Untuk menyatakan panjang,
masyarakat Kampung Kuta menggunakan istilah seperti: sajeungkal / satu jengkal, sadeupa
/ sepanjang bentangan tangan kiri dan kanan, saawi / sepanjang pohon bambu (biasanya digunakan untuk menyatakan
ketinggian/kedalaman). Untuk menyatakan ukuran lama, masyarakat Kampung Kuta
biasanya menggunakan beberapa istilah sebagai berikut: sabedug / satu hari (dari jam 7 sampai jam 12), saweton / sanaptu / satu runtuian waktu
yang ditentukan berdasarkan hari kelahiran, katujuhna
/ hari ketujuh, sawindu / delapan tahun, sapurnama
/ dari bulan purnama ke bulan purnama lagi. Istilah waktu untuk orang sunda
dalam sehari semalam berdasarkan keadaan alam :
·
Wanci
tumorѐk (jam 00.30)
·
Wanci
janari sapi (jam 01.00)
·
Wanci
janari leutik (jam 01.30)
·
Wanci
janari gedѐ (jam 02.00)
·
Wanci
disada rorongkѐng (jam 02.30)
·
Wanci
haliliwar (jam 03.00-03.30)
·
Wanci
janari (jam 04.00)
·
Wanci
balѐbat (jam 05.00)
·
Wanci
carancang tihang (jam 05.30)
·
Wanci
murag ciibun/meletѐk (jam 07.00)
·
Wanci
haneut moyan (jam 08.00)
·
Wanci
rumangsang (jam 09.00)
·
Wanci
pecat sawed (jam 10.00)
·
Wanci
manceran/tengah poѐ (jam 12.00)
·
Wanci
lingsir ngulon (jam 14.00)
·
Wanci panonpoѐ satungtung (jam
15.00)
·
Wanci
tunggang gunung (jam 16.00-17.00)
·
Wanci
sariak layung (jam 17.00-18.00)
·
Wanci ѐrang-ѐrang (jam 17.30-18.00)
·
Wanci
sareupna/harieum beungeut (jam 18.00-18.30)
·
Wanci
sareureuh gaang (jam 19.00)
·
Wanci
sareureuh budak (jam 21.00)
·
Wanci
sareureuh kolot (jam 22.00)
3.
Aktivitas Membuat Rancang Bangun
Membuat rancang bangun identik dengan penggunaan konsep geometri
secara nyata dalam kehidupan. Disatu sisi, masyarakat Kampung Kuta tidak
mempelajari matematika (geometri) secara formal melalui bangku sekolah tetapi
mereka mampu mengembangkannya dengan sangat baik sehingga menjadikannya
istimewa. Rumah yang berada di kampung Kuta masih berbentuk panggung dengan
atap rumbia atau ijuk dan berdinding anyaman bambu dengan bentuk segitiga dan
persegi panjang. Seluruh bahan bangunan rumah harus terbuat dari bambu dan
kayu. “Pantrangannya (pantangannya) dalam membuat rumah harus panggung,
dindingnya tidak boleh tembok, bentuknya harus persegi panjang, tidak letter U
atau bentuk lain, tempat menyimpan beras harus dekat ke tempat tidur. Jika
rumah diperbaiki, tidak boleh nambah ruangan ke Timur atau Utara, kalau ke
Selatan atau Barat bisa.” Papar Ki Warja yang merupakan pemangku adat di
Kampung Kuta. Membangun rumah juga tidak boleh mengompleks atau berkumpul.
Harus berderet dengan jumlah tidak boleh ganjil (harus genap) dengan maksimal 4
rumah.
4.
Aktivitas
Permainan Matematika
Ada banyak jenis permainan tradisional masyarakat Kampung Kuta
yang mengandung unsur-unsur matematika. Seperti permainan layang-layang yang
menyerupai bentuk belah ketupat, hanya saja sisi pada bagian bawah lebih
panjang. Permainan ketapel pun berkaitan dengan unsur matematika (geometri)
yaitu sudut.
KESIMPULAN
Dalam kehidupan sehari-hari,
manusia tidak lepas dari kegiatan membilang, mengukur,
rancang bangun dan permainan. Dan kegiatan tersebut tidak lepas
dari unsur matematika. Karena membilang berkaitan dengan “berapa
banyak”, mengukur berkaitan dengan “berapa panjang/lama”, menyatakan waktu,
rancang bangun berkaitan dengan bentuk geometri, dan permainan yang memiliki
unur matematika dapat dijadikan media pembelajaran.
SARAN
Saya berharap esai
ini dapat berguna bagi pembaca dan saya mengakui masih
banyak kekurangan dalam esai
ini. Oleh karena itu, bagi pembaca atau mahasiswa yang mengangkat topik tentang etnomatematika di
Kampung Kuta dapat mengembangkannya menjadi lebih
baik lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
Yulianto, E., dan Ipah Muzdalipah. (2015). “Pengembangan Desain
Pembelajaran Matematika Untuk Siswa SD Berbasis Aktivitas
Budaya dan Permainan Tradisional Masyarakat Kampung Naga”. Universita Siliwangi: tidak
diterbitkan.